BAB 1
Ø
PENALARAN ILMIAH
Proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik)
yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian.
Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi-proposisi
yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap
benar, orang menyimpulkan bahwa sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak
diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi yang
dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (entesedens) dan hasil
kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequense). Hubungan antara premis dan
konklusi disebut konsekuensi.
Menurut Jujun Suriasumantri, penalaran adalah suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Sebagai suatu kegiatan berpikir, penalaran memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu :
a. Proses berpikir logis, dimana berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut pola tertentu atau dengan kata lain menurut logika tertentu.
b. Sifat analitik dari proses bepikirnya. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir tertentu. Analisis pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.
Menurut Jujun Suriasumantri, penalaran adalah suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Sebagai suatu kegiatan berpikir, penalaran memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu :
a. Proses berpikir logis, dimana berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut pola tertentu atau dengan kata lain menurut logika tertentu.
b. Sifat analitik dari proses bepikirnya. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir tertentu. Analisis pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.
Pengetahuan yang dipergunakan dalam penalaran pada dasarnya bersumber pada
rasio atau Fakta. Mereka yang berpendapat bahwa rasio adalah sumber kebenaran
mengembangkan paham rasionalisme, sedangkan mereka yang menyatakan bahwa fakta
tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran mengembangkan paham
empirisme.
Menurut Glass dan Holyoak (Jacob, 1997,h.29) bahwa penalaran meliputi
berbagai simpulan pengetahuan mutahir dan keyakinan. Penalaran, pengambilan
keputusan dan pemecahan masalah merupakan proses kognitif yang saling
berhubungan. Pengambilan keputusan meliputi usaha untuk mencapai setiap variasi
dari berbagai tipe tujuan. Dengan demikian, penalaran jelas meliputi
pengambilan keputusan, sedangkan penalaran dan pengambilan keputusan diperlukan
untuk menyelesaikan masalah. Sehingga, pengambilan keputusan berarti menaksir
dan memilih di antara beberapa alternatif yang tersedia.
Penalaran adalah bentuk khusus dari berpikir dalam upaya pengambilan
inferensi dan konklusi yang digambarkan oleh premis. Setiap penalaran adalah
berpikir, tetapi tidak semua berpikir adalah penalaran.
Menurut Galotti (1989) bahwa penalaran logis berarti mentransformasikan
informasi yang diberikan untuk memperoleh suatu konklusi (Matlin, 1994, h.
379). Ada dua macam penalaran logis, yaitu: (1) penalaran kondisional, dan (2)
penalaran silogistik (silogisme).
a. Penalaran kondisional.
a. Penalaran kondisional.
Penalaran kondisional berhubungan dengan pernyataan/proposisi: “jika ...,
maka ...” Bagian “jika ...” disebut anteseden. Antesden artinya proposisi yang
dimunculkan lebih pertama. Sedangkan, bagian “maka ...” disebut konsekuen.
Konsekuen artinya proposisi berikutnya. Di sini, pernyataan kondisional tidak
menegaskan bahwa jika antesedennya benar atau konsekuennya benar adalah benar:
hanya menyatakan bahwa antesedennya mengakibatkan konsekuennya. Pengertian
esensial dari pernyataan kondisional adalah relasi dari implikasi yang
ditetapkan untuk berperan antara anteseden dan konsekuennya dalam aturan. Untuk
mengerti makna dari suatu pernyataan kondisional, maka kita harus mengerti apa
implikasinya. Ada empat situasi penalaran kondisional yang dapat benar seperti
berikut:
1) Mengesahkan anteseden: berarti bahwa bagian kalimat “jika ...” adalah benar. Bentuk penalaran ini menuju kepada konklusi valid atau konklusi benar.
1) Mengesahkan anteseden: berarti bahwa bagian kalimat “jika ...” adalah benar. Bentuk penalaran ini menuju kepada konklusi valid atau konklusi benar.
2) Mengesahkan konsekuen: berarti bahwa bagian kalimat “maka ...”
adalah benar. Bentuk penalaran ini menuju kepada konklusi invalid atau konklusi
tidak benar.
3) Menyangkal anteseen: berarti bahwa bagian kalimat “jika ...” adalah salah. Menyangkal anteseden mengarah kepada konklusi invalid atau konklusi tidak benar.
4) Menyangkal konsekuen: berarti bahwa bagian kalimat “maka ...” adalah benar. Bentuk penalaran ini menuju kepada konklusi valid atau konklusibenar.
b. Penalaran silogistk (silogisme).
3) Menyangkal anteseen: berarti bahwa bagian kalimat “jika ...” adalah salah. Menyangkal anteseden mengarah kepada konklusi invalid atau konklusi tidak benar.
4) Menyangkal konsekuen: berarti bahwa bagian kalimat “maka ...” adalah benar. Bentuk penalaran ini menuju kepada konklusi valid atau konklusibenar.
b. Penalaran silogistk (silogisme).
Silogisme (syllogism dilafalkan “sill-owe-jizz-um”) memuat dua premis, atau
pernyataan yang harus kita asumsikan benar, ditambah suatu konklusi. Silogisme
meliputi kuantitas, sehingga menggunakan kata - kata; semua, untuk setiap, ada,
tak satupun, atau istilah - istilah sinonim lainnya. Dalam penalaran
kondisional, pernyataan sering dinyatakan dengan huruf - huruf p dan q.
Sedangkan, dalam silogisme menggunakan simbol – simbol tradisional A, B, dan C.
Contoh 1: Premis 1 : Ada A adalah B.
Premis 2 : Ada B adalah C.
Konklusi : Ada A adalah C.
Apabila kita ajukan pertanyaan untuk menyatakan apakah konklusi itu benar atau salah, maka mungkin kita akan berpikir sejenak, untuk menentukan “contoh nyata” manakah yang dapat menggantikan A, B, dan C sedemikian sehingga 3 konklusi itu menjadi benar. Perlu diingat bahwa, konklusi dari suatu silogisme hanya benar saja atau salah saja, namun kadang - kadang bisa saja tidak dapat mengatakannya benar atau salah. Dengan demikian, untuk Contoh 1 kita tidak dapat mengatakan benar atau salah.
Contoh 1: Premis 1 : Ada A adalah B.
Premis 2 : Ada B adalah C.
Konklusi : Ada A adalah C.
Apabila kita ajukan pertanyaan untuk menyatakan apakah konklusi itu benar atau salah, maka mungkin kita akan berpikir sejenak, untuk menentukan “contoh nyata” manakah yang dapat menggantikan A, B, dan C sedemikian sehingga 3 konklusi itu menjadi benar. Perlu diingat bahwa, konklusi dari suatu silogisme hanya benar saja atau salah saja, namun kadang - kadang bisa saja tidak dapat mengatakannya benar atau salah. Dengan demikian, untuk Contoh 1 kita tidak dapat mengatakan benar atau salah.
· PROPOSISI
suatu
ekspresi verbal dari keputusan yang berisi pengakuan atau pengingkaran sesuatu
predikat terhadap suatu yang lain, yang dapat dinilai bener atau salah.
Jenis-jenis proposisi terbagimenjadi 4 bagian :
1. Proposisi berdasarkan Bentuk :
a. proposisi tunggal adalah proposisi yang memiliki 1 subjek dan 1 predikat.
Contoh : Unie menyayi
Ayah membaca koran
b. Proposisi majemuk adalah proposisi yang memiliki 1 subjek dan lebih dari 1 predikat.
Contoh : Indra belajar bermain piano dan menyayi di studio
Adik Belajar bahasa indonesia dan membuat kalimat majemuk
2.Proposisi berdasarkan Sifat :
a. Proposisi Kategorial adalah proposisi dimana hubungan antara subyek dan predikatnya mempunyai syarat apapun
Contoh : Semua Perempuan di indonesia akan mengalami Menstruasi
Setiap mengendarai mobil harus memakai seftybeld
b. Proposisi kondisional adalah proposisi dimana hubungan antara subjek dan predikat membutuhkan syarat tertentu.
Contoh : Jika yogi lulus UN maka saya akan berikan hadiah
Jika saya lulus penelitian ilmiah maka saya akan mengadakan syukuran
3. Proposisi berdasarkan kualitas:
a. proporsisi positif, yaitu proporsisi dimana predikatnya mendukung atau membenarkan subjeknya.
Contoh : Semua gajah berbadan besar
Semua ilmuwan adalah orang pandai
b. proporsisi negatif, yaitu proporsisi dimana predikatnya menolak atau tidak mendukung subjeknya.
Contoh : Tidak ada wanita yang berjenggot
Tidak ada binatang yang bisa bicara
4. proporsisi berdasarkan kuantitas:
a. proporsisi universal, yaitu proporsisi dimana predikatnya mendukung atau mengingkari semua.
Contoh : Semua warga Indonesia mememiliki KTP
Semua masyarakat mematuhi peratura lalulintas
b. proporsisi spesifik / khusus, yaitu proporsisi yang predikatnya membenarkan sebagian subjek.
Contoh : Tidak semua murid patuh kepada gurunya
Jenis-jenis proposisi terbagimenjadi 4 bagian :
1. Proposisi berdasarkan Bentuk :
a. proposisi tunggal adalah proposisi yang memiliki 1 subjek dan 1 predikat.
Contoh : Unie menyayi
Ayah membaca koran
b. Proposisi majemuk adalah proposisi yang memiliki 1 subjek dan lebih dari 1 predikat.
Contoh : Indra belajar bermain piano dan menyayi di studio
Adik Belajar bahasa indonesia dan membuat kalimat majemuk
2.Proposisi berdasarkan Sifat :
a. Proposisi Kategorial adalah proposisi dimana hubungan antara subyek dan predikatnya mempunyai syarat apapun
Contoh : Semua Perempuan di indonesia akan mengalami Menstruasi
Setiap mengendarai mobil harus memakai seftybeld
b. Proposisi kondisional adalah proposisi dimana hubungan antara subjek dan predikat membutuhkan syarat tertentu.
Contoh : Jika yogi lulus UN maka saya akan berikan hadiah
Jika saya lulus penelitian ilmiah maka saya akan mengadakan syukuran
3. Proposisi berdasarkan kualitas:
a. proporsisi positif, yaitu proporsisi dimana predikatnya mendukung atau membenarkan subjeknya.
Contoh : Semua gajah berbadan besar
Semua ilmuwan adalah orang pandai
b. proporsisi negatif, yaitu proporsisi dimana predikatnya menolak atau tidak mendukung subjeknya.
Contoh : Tidak ada wanita yang berjenggot
Tidak ada binatang yang bisa bicara
4. proporsisi berdasarkan kuantitas:
a. proporsisi universal, yaitu proporsisi dimana predikatnya mendukung atau mengingkari semua.
Contoh : Semua warga Indonesia mememiliki KTP
Semua masyarakat mematuhi peratura lalulintas
b. proporsisi spesifik / khusus, yaitu proporsisi yang predikatnya membenarkan sebagian subjek.
Contoh : Tidak semua murid patuh kepada gurunya
· INFERENSI
Sebuah pekerjaan bagai pendengar
(pembaca) yang selalu terlibat dalam tindak tutur selalu harus siap
dilaksanakan ialah inferensi. Inferensi dilakukan untuk sampai pada suatu
penafsiran makna tentang ungkapan-ungkapan yang diterima dan pembicara atau (penulis).
Dalam keadaan bagaimanapun seorang pendengar (pembaca) mengadakan inferensi.
Pengertian inferensi yang umum ialah proses yang harus dilakukan pembaca
(pendengar) untuk melalui makna harfiah tentang apa yang ditulis (diucapkan)
samapai pada yang diinginkan oleh saorang penulis (pembicara).
Inferensi atau kesimpulan sering
harus dibuat sendiri oleh pendengar atau pembicara karena dia tidak mengetahui
apa makna yang sebenarnya yang dimaksudkan oleh pembicara/penulis. Karena jalan
pikiran pembicara mungkin saja berbeda dengan jalan pikiran pendengar, mungkin
saja kesimpulan pendengar meleset atau bahkan salah sama sekali. Apabila ini
terjadi maka pendengar harus membuat inferensi lagi. Inferensi terjadi jika
proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna
yang secara harfiah tidak terdapat pada tuturan yang diungkapkan oleh pembicara
atau penulis. Pendengar atau pembaca dituntut untuk mampu memahami informasi
(maksud) pembicara atau penulis.
Inferensi adalah membuat simpulan
berdasarkan ungkapan dan konteks penggunaannya. Dalam membuat inferensi perlu
dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna
tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur). Untuk menarik
sebuah kesimpulan (inferensi) perlu kita mengetahui jenis-jenis inferensi,
antara lian;
Inferensi
Langsung
Inferensi
yang kesimpulannya ditarik dari hanya satu premis (proposisi yang digunakan
untuk penarikan kesimpulan). Konklusi yang ditarik tidak boleh lebih luas dari
premisnya.
Contoh:
Bu, besok
temanku berulang tahun. Saya diundang makan malam. Tapi saya tidak punya baju
baru, kadonya lagi belum ada”.
Maka inferensi dari ungkapan
tersebut: bahwa tidak bisa pergi ke ulang tahun temanya.
Contoh:
Pohon yang
di tanam pak Budi setahun lalu hidup.
dari premis
tersebut dapat kita lansung menari kesimpulan (inferensi) bahwa: pohon yang
ditanam pak budi setahun yang lalu tidak mati.
Inferensi
Tak Langsung
Inferensi yang kesimpulannya ditarik dari dua
/ lebih premis. Proses akal budi membentuk sebuah proposisi baru atas dasar
penggabungan proposisi-preposisi lama.
Contoh:
A :
Anak-anak begitu gembira ketika ibu memberikan bekal makanan.
B : Sayang gudegnya agak sedikit saya bawa.
B : Sayang gudegnya agak sedikit saya bawa.
Inferensi
yang menjembatani kedua ujaran tersebut misalnya (C) berikut ini.
C : Bekal yang dibawa ibu lauknya gudek komplit.
C : Bekal yang dibawa ibu lauknya gudek komplit.
Contoh yang
lain;
A : Saya
melihat ke dalam kamar itu.
B :
Plafonnya sangat tinggi.
Sebagai
missing link diberikan inferensi, misalnya:
C: kamar itu
memiliki plafon
· IMPLIKASI
suatu
keterlibatan antara dua buah objek atau lebih. Untuk lebih jelasnya berikut
penjelasanya.
Contoh :
“Jika
matahari bersinar maka udara terasa hangat” Jadi, bila kita tahu bahwa matahari
bersinar, kita juga tahu bahwa udara terasa hangat. Karena itu akan sama
artinya jika kalimat di atas kita tulis sebagai:
“Bila matahari bersinar, udara terasa hangat”. ”Sepanjang waktu matahari bersinar, udara terasa hangat”. “Matahari bersinar berimplikasi udara terasa hangat”. “Matahari bersinar hanya jika udara terasa hangat”.
“Bila matahari bersinar, udara terasa hangat”. ”Sepanjang waktu matahari bersinar, udara terasa hangat”. “Matahari bersinar berimplikasi udara terasa hangat”. “Matahari bersinar hanya jika udara terasa hangat”.
Berdasarkan
pernyataan diatas, maka untuk menunjukkan bahwa udara tersebut hangat adalah
cukup dengan menunjukkan bahwa matahari bersinar atau matahari bersinar
merupakan syarat cukup untuk udara terasa hangat.
Sedangkan untuk menunjukkan bahwa matahari bersinar adalah perlu dengan menunjukkan udara menjadi hangat atau udara terasa hangat merupakan syarat perlu bagi matahari bersinar. Karena udara dapat menjadi hangat hanya bila matahari bersinar.
Sedangkan untuk menunjukkan bahwa matahari bersinar adalah perlu dengan menunjukkan udara menjadi hangat atau udara terasa hangat merupakan syarat perlu bagi matahari bersinar. Karena udara dapat menjadi hangat hanya bila matahari bersinar.
·
EVIDENSI
Evidensi adalah
semua fakta yang ada, yang dihubung-hubungkan untuk membuktikan adanya sesuatu.
Evidensi merupakan hasil pengukuan dan pengamatan fisik yang digunakan untuk
memahami suatu fenomena. Evidensi sering juga disebut bukti empiris. Akan
tetapi pengertian evidensi ini sulit untuk ditentukan secara pasti, meskipun
petunjuk kepadanya tidak dapat dihindarkan.
Kita mungkin
mengartikannya sebagai “cara bagaimana kenyataan hadir” atau perwujudan dari
ada bagi akal”. Misal Mr.A mengatakan “Dengan pasti ada 301.614 ikan di
bengawan solo”, apa komentar kita ? Tentu saja kita tidak hanya mengangguk dan
mengatakan “fakta yang menarik”. Kita akan mengernyitkan dahi terhadap
keberanian orang itu untuk berkata demikian. tentu saja reaksi kita tidak dapat dilukiskan sebagai “kepastian”,
Tentu saja
kemungkinan untuk benar tidak dapat di kesampingkan, bahwa dugaan ngawur atau
ngasal telah menyatakan jumlah yang persis. Tetapi tidak terlalu sulit bagi
kita untuk menangguhkan persetujuan kita mengapa ? Karena evidensi memadai
untuk menjamin persetujuan jelaslah tidak ada. Kenyataannya tidak ada dalam
persetujuan terhadap pernyataan tersebut.
Sebaliknya, kalau seorang mengatakan mengenai ruang di mana saya duduk,
“Ada tiga jendela di dalam ruang ini,” persetujuan atau ketidak setujuan saya
segera jelas. Dalam hal ini evidensi yang menjamin persetujuan saya dengan
mudah didapatkan. Dalam wujud yang
paling rendah. Evidensi itu berbentuk data atau informasi. Yang di maksud
dengan data atau informasi adalah bahan keterangan yang di peroleh dari suatu
sumber tertentu.
Cara menguji data :
Data dan informasi yang di gunakan dalam penalaran harus merupakan fakta. Oleh karena itu perlu diadakan pengujian melalui cara-cara tertentu sehingga bahan-bahan yang merupakan fakta itu siap di gunakan sebagai evidensi.
Di bawah ini beberapa cara yang dapat di gunakan untuk pengujian tersebut.
1.Observasi
2.Kesaksian
3.Autoritas
Cara menguji fakta :
Untuk menetapkan apakah data atau informasi yang kita peroleh itu merupakan fakta, maka harus diadakan penilaian. Penilaian tersebut baru merupakan penilitian tingkat pertama untuk mendapatkan keyakinan bahwa semua bahan itu adalah fakta, sesudah itu pengarang atau penulis harus mengadakan penilaian tingkat kedua yaitu dari semua fakta tersebut dapat digunakan sehingga benar-benar memperkuat kesimpulan yang akan diambil. Apakah itu dalam bentuk Konsistensi atau Koherensi.
Data dan informasi yang di gunakan dalam penalaran harus merupakan fakta. Oleh karena itu perlu diadakan pengujian melalui cara-cara tertentu sehingga bahan-bahan yang merupakan fakta itu siap di gunakan sebagai evidensi.
Di bawah ini beberapa cara yang dapat di gunakan untuk pengujian tersebut.
1.Observasi
2.Kesaksian
3.Autoritas
Cara menguji fakta :
Untuk menetapkan apakah data atau informasi yang kita peroleh itu merupakan fakta, maka harus diadakan penilaian. Penilaian tersebut baru merupakan penilitian tingkat pertama untuk mendapatkan keyakinan bahwa semua bahan itu adalah fakta, sesudah itu pengarang atau penulis harus mengadakan penilaian tingkat kedua yaitu dari semua fakta tersebut dapat digunakan sehingga benar-benar memperkuat kesimpulan yang akan diambil. Apakah itu dalam bentuk Konsistensi atau Koherensi.
·
Cara Menguji
Data
Supaya data dan informasi dapat
dipergunakan dalam penalaran data dan informasi itu harus merupakan fakta. Sebab
itu perlu diadakan pengujia-pengujian melalui cara-cara tertentu. Berikut ada
beberapa cara yang dapat dipergunakan untuk mengadakan pengujian tersebut.
a. bservasi
Fakta-fakta yang diajukan sebagai evidensi mungkin belum memuaskan seorang pengarang atau penulis. Untuk lebih meyakinkan dirinya sendiri dan sekaligus dapat menggunakannya sebaik-baiknya dalam usaha meyakinkan para pembaca, maka diperlukan peninjauan atau observasi singkat untuk mengecek data atau informasi itu.
b. Kesaksian
Keharusan menguji data dan informasi tidak harus selalu dilakukan dengan observasi, untuk itu pengarang atau penulis dapat melakukan pengujian dengan meminta kesaksian atau keterangan dari orang lain, yang mengalami sendiri tentang persoalan itu.
c. Autoritas
Cara ketiga yang dapat digunakan untuk menguji fakta ialah meminta pendapat dari suatu autoritas, yakni pendapat dari seorang ahli, atau mereka yang menyelidiki fakta-fakta itu dengan cermat, memperhatikan semua kesaksian, menilai semua fakta kemudian memberikan pendapat mereka sesuai keahlian mereka dalam bidang itu.
a. bservasi
Fakta-fakta yang diajukan sebagai evidensi mungkin belum memuaskan seorang pengarang atau penulis. Untuk lebih meyakinkan dirinya sendiri dan sekaligus dapat menggunakannya sebaik-baiknya dalam usaha meyakinkan para pembaca, maka diperlukan peninjauan atau observasi singkat untuk mengecek data atau informasi itu.
b. Kesaksian
Keharusan menguji data dan informasi tidak harus selalu dilakukan dengan observasi, untuk itu pengarang atau penulis dapat melakukan pengujian dengan meminta kesaksian atau keterangan dari orang lain, yang mengalami sendiri tentang persoalan itu.
c. Autoritas
Cara ketiga yang dapat digunakan untuk menguji fakta ialah meminta pendapat dari suatu autoritas, yakni pendapat dari seorang ahli, atau mereka yang menyelidiki fakta-fakta itu dengan cermat, memperhatikan semua kesaksian, menilai semua fakta kemudian memberikan pendapat mereka sesuai keahlian mereka dalam bidang itu.
·
Cara Menguji
fakta
Sebagai
telah dikemukakan diatas, untuk menetapkan apakah data dan informasi yang kita
peroleh itu merupakan fakta, maka harus diadakan penelitian, apaka data dan
informasi itu merupakan kenyataan atau yang sungguh-sungguh terjadi. Pada tahap
selanjutnya pengarang atau penulis perlu mengadakan penilaian selanjutnya, guna
memperkuat fakta yang akan digunakan sehingga memperkuat kesimpulan yang akan
diambil. Dengan kata lain, perlu diadakannya seleksi untuk menentukan fakta
mana yang akan dijadikan evidensi.
a. Konsistensi
Dasar pertama yang dapat dipakai untuk menetapkan fakta mana yang akan digunakan sebagai evidensi adalah kekonsistenan. Sebuah argumentasi akan kuat dan mempunyai tenaga persuasif yang tinggi, kalau evidensi-evidensinya bersifat konsisten, tidak ada satu evidensi bertentangan atau melemahkan evidensi lainnya.
b. Koheresi
Dasar kedua yang dapat dipakai untuk mengadakan penelitian fakta yang dapat dipergunakan sebagai evidensi adalah masalah koherensi. Semua fakta yang akan digunakan sebagai evidensi harus koheren dengan pengalaman-pengalaman manusia, atau sesuai dengan sikap yang berlaku. Penulis harus dapat meyakinkan para pembaca untuk dapat setuju, atau menerima fakta-fakta dan jalan pikiran yang kemukakannya, maka secara konsekuen pula pembaca harus menerima hal lain, yaitu konklusinya.
Cara Menilai Autoritas
Seorang penulis yang baik dan obyektif selalu akan menghindari semua desas-desus, atau kesaksian dari tangan kedua. Penulis yang baik akan membedakan pula apa yang hanya merupakan pendapat saja, atau pendapat yang sungguh-sungguh didasarkan atas penelitian atau data-data eksperimental. Apa yang harus dilakukan bila seorang menghadapi kenyataan bahwa pendapat autoritas-autoritas itu berbeda-beda? Yang dapat dilakukan adalah membandingkan-bandingkan autoritas-autoritas itu, mengadakan evaluasi atas pendapat-pendapat itu untuk menemukan suatu pendapat yang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk menilai suatu autoritas, penulis dapat memilih beberapa pokok berikut.
a. Tidak Mengandung Prasangka
Dasar pertama yang perlu diketahui oleh penulis adalah bahwa pendapat autoritas sama sekali tidak boleh mengandung prasangka, artinya pendapat itu disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh ahli itu sendiri. Autoritas juga tidak boleh memperoleh keuntungan pribadi dari data-data eksperimentalnya. Untuk mengetahui apakah autoritas itu tidak memperoleh keuntungan pribadi dari pendapat dan kesimpulannya, penulis harus memperhatikan apakah autoritas itu mempunyai interes yang khusus terhadap sesuatu.
b. Pengalaman dan Pendidikan Autoritas
Dasar kedua yang harus diperhitungkan penulis untuk menilai pendapat suatu autoritas adalah menyangkut pengalaman dan pendidikan autoritas. Semua itu diperlukan untuk memperkokoh kedudukan pendapatnya, berdasarkan pengalaman-pengalaman dan penelitian-penelitian yang dilakukannya. Tetapi sekurang-kurangnya pendidikan serta pengalaman-pengalaman sebagai tampak dari tulisan-tulisan hasil penelitiannya akan memberi keyakinan pada penulis tentang autoritasnya.
c. Kemashuran dan prestise
Faktor ketiga yang harus diperhatikan oleh penulis untuk menilai autoritas adalah meneliti apakah pernyataan atau pendapat yang akan dikutip sebagai autoritas itu hanya sekedar bersembunyi dibalik kemashuran dan prestise pribadi di bidang lain. Sering terjadi bahwa seseorang yang menjadi terkenal karena prestise tertentu, dianggap berwenang pula dalam segala bidang. Akan sangat salah ketika pendapatnya itu diambil dari orang yang tidak kompeten pada bidangnya dan dikutip dan diperlakukan sebagai autoritas tanpa mengadakan penilaian sampai dimana kebenaran pendapatnya itu.
d. Koherasi dan kemajuan
Hal keempat yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah apakah pendapat yang diberikan oleh autoritas itu sejalan dengan perkembangan dan kemajuan jaman, atau koheren dengan pendapat sikap terakhir dalam bidang itu.
a. Konsistensi
Dasar pertama yang dapat dipakai untuk menetapkan fakta mana yang akan digunakan sebagai evidensi adalah kekonsistenan. Sebuah argumentasi akan kuat dan mempunyai tenaga persuasif yang tinggi, kalau evidensi-evidensinya bersifat konsisten, tidak ada satu evidensi bertentangan atau melemahkan evidensi lainnya.
b. Koheresi
Dasar kedua yang dapat dipakai untuk mengadakan penelitian fakta yang dapat dipergunakan sebagai evidensi adalah masalah koherensi. Semua fakta yang akan digunakan sebagai evidensi harus koheren dengan pengalaman-pengalaman manusia, atau sesuai dengan sikap yang berlaku. Penulis harus dapat meyakinkan para pembaca untuk dapat setuju, atau menerima fakta-fakta dan jalan pikiran yang kemukakannya, maka secara konsekuen pula pembaca harus menerima hal lain, yaitu konklusinya.
Cara Menilai Autoritas
Seorang penulis yang baik dan obyektif selalu akan menghindari semua desas-desus, atau kesaksian dari tangan kedua. Penulis yang baik akan membedakan pula apa yang hanya merupakan pendapat saja, atau pendapat yang sungguh-sungguh didasarkan atas penelitian atau data-data eksperimental. Apa yang harus dilakukan bila seorang menghadapi kenyataan bahwa pendapat autoritas-autoritas itu berbeda-beda? Yang dapat dilakukan adalah membandingkan-bandingkan autoritas-autoritas itu, mengadakan evaluasi atas pendapat-pendapat itu untuk menemukan suatu pendapat yang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk menilai suatu autoritas, penulis dapat memilih beberapa pokok berikut.
a. Tidak Mengandung Prasangka
Dasar pertama yang perlu diketahui oleh penulis adalah bahwa pendapat autoritas sama sekali tidak boleh mengandung prasangka, artinya pendapat itu disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh ahli itu sendiri. Autoritas juga tidak boleh memperoleh keuntungan pribadi dari data-data eksperimentalnya. Untuk mengetahui apakah autoritas itu tidak memperoleh keuntungan pribadi dari pendapat dan kesimpulannya, penulis harus memperhatikan apakah autoritas itu mempunyai interes yang khusus terhadap sesuatu.
b. Pengalaman dan Pendidikan Autoritas
Dasar kedua yang harus diperhitungkan penulis untuk menilai pendapat suatu autoritas adalah menyangkut pengalaman dan pendidikan autoritas. Semua itu diperlukan untuk memperkokoh kedudukan pendapatnya, berdasarkan pengalaman-pengalaman dan penelitian-penelitian yang dilakukannya. Tetapi sekurang-kurangnya pendidikan serta pengalaman-pengalaman sebagai tampak dari tulisan-tulisan hasil penelitiannya akan memberi keyakinan pada penulis tentang autoritasnya.
c. Kemashuran dan prestise
Faktor ketiga yang harus diperhatikan oleh penulis untuk menilai autoritas adalah meneliti apakah pernyataan atau pendapat yang akan dikutip sebagai autoritas itu hanya sekedar bersembunyi dibalik kemashuran dan prestise pribadi di bidang lain. Sering terjadi bahwa seseorang yang menjadi terkenal karena prestise tertentu, dianggap berwenang pula dalam segala bidang. Akan sangat salah ketika pendapatnya itu diambil dari orang yang tidak kompeten pada bidangnya dan dikutip dan diperlakukan sebagai autoritas tanpa mengadakan penilaian sampai dimana kebenaran pendapatnya itu.
d. Koherasi dan kemajuan
Hal keempat yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah apakah pendapat yang diberikan oleh autoritas itu sejalan dengan perkembangan dan kemajuan jaman, atau koheren dengan pendapat sikap terakhir dalam bidang itu.
Pengetahuan
dan pendapat terakhir tidak selalu berarti yang terbaik. Tetapi harus diakui
bahwa pendapat itulah yang terbaik. Tetapi harus diakui bahwa pendapat-pendapat
terakhir dari ahli dalam bidang yang sama lebih dapat diandalkan, karena autoritas-autoritas
semacam itu memperoleh kesempatan yang paling baik untuk membandingkan semua
pendapat sebelumnya, dengan segala kebaikan dan keburukannya atau kelemahannya,
sehingga dapat mencetuskan pendapat yang lebih baik.
BAB 2
Ø
BERPIKIR
DEDUKTIF
Berpikir/Penalaran
Deduktif adalah penalaran yang bertolak dari pernyataan-pernyataan sifatnya
umum menuju pernyataan khusus. Contohnya adalah Silogisme.
Silogisme
adalah suatu proses penarikan kesimpulan yang mengungkapan pernyataan umum
(premis mayor) lalu disusul dengan pernyataan khusus(premis minor).
Jenis-jenis
Silogisme
- Silogisme kategorial (ciri/syarat)
Silogisme
ini merupakan silogisme dimana semua proporsinya merupakan katagorial. Kemudian
proporsisi yang mengandung silogisme disebut dengan premis yang kemudian dapat
dibedakan menjadi premis mayor (premis yang termnya menjadi predikat), dan
premis minor (premis yang termnya menjadi subjek).
Contoh :
– semua makhluk hidup pasti mati (premis mayor/premis umum)
– koala adalah hewan yang dilindungi (premis minor/premis khusus)
– koala pasti akan mati (konklusi/kesimpulan)
– semua makhluk hidup pasti mati (premis mayor/premis umum)
– koala adalah hewan yang dilindungi (premis minor/premis khusus)
– koala pasti akan mati (konklusi/kesimpulan)
2. Silogisme
hipotetik
Yang
dimaksud dengan silogisme hipotetik itu adalah suatu argumen/pendapat yang
premis mayornya berupa proposisi hipotetik, sedangkan premis minornya adalah
proposisi katagorik.
Contoh :
– Apabila lapar saya makan roti (mayor)
– Sekarang lapar (minor)
– Saya lapar makan roti (konklusi)
– Apabila lapar saya makan roti (mayor)
– Sekarang lapar (minor)
– Saya lapar makan roti (konklusi)
3. Silogisme Alternatif
Silogismealternatifadalahsilogisme
yang terdiriataspremis mayor berupaproposisialternatif.
Proposisialternatifitubilapremisminornyamembenarkansalahsatualternatifnya.
Contoh :
– Dimas tinggal di bogor atau surabaya
– Dimas tinggal di surabaya
– Jadi, dimas tidak tinggal di bogor
– Dimas tinggal di bogor atau surabaya
– Dimas tinggal di surabaya
– Jadi, dimas tidak tinggal di bogor
4. Silogisme Disjungtif
Silogisme disjungtif merupakan silogisme yang premis mayornya merupakan disjungtif, sedangkan premis minornya bersifat kategorik yang mengakui atau mengingkari salah satu alternatif yang disebut oleh premis mayor.
Silogisme disjungtif merupakan silogisme yang premis mayornya merupakan disjungtif, sedangkan premis minornya bersifat kategorik yang mengakui atau mengingkari salah satu alternatif yang disebut oleh premis mayor.
Contoh :
– Devan masuk sekolah atau tidak. (premis 1)
– Ternyata devan tidak masuk sekolah. (premis 2)
– Ia tidak masuk sekolah. (konklusi).
– Devan masuk sekolah atau tidak. (premis 1)
– Ternyata devan tidak masuk sekolah. (premis 2)
– Ia tidak masuk sekolah. (konklusi).
5. Entimen (silogisme yang dipersingkat)
Silogisme
ini jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tulisan maupun
lisan. Yang dikemukakan hanya premis minor dan kesimpulan. Contoh entimen:
- Dia menerima hadiah pertama karena dia telah menang dalam sayembara itu.
- Anda telah memenangkan sayembara ini, karena itu Anda berhak menerima hadiahnya.
BAB 3
Ø BERPIKIR
INDUKTIF
Induktif adalah cara mempelajari sesuatu yang bertolak dari
hal-hal atau peristiwa khusus untuk menentukan hukum yang umum (Kamus Umum
Bahasa Indonesia, hal 444 W.J.S.Poerwadarminta. Balai Pustaka 2006)
·
Metode
berpikir induktif dimana cara berpikir dilakukan dengan cara menarik
suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat
individual. Untuk itu, penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan
pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang yang kusus dan terbatas dalam
menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Penalaran secara induktif dimulai dengan
mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan
terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang
bersifat umum (filsafat ilmu.hal 48 Jujun.S.Suriasumantri Pustaka Sinar
Harapan. 2005)
·
Penarikan kesimpulan secara induktif
menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan mengenai benyaknya kasus yang
harus kita amati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum. Misalnya,
jika kita ingin mengetahui berapa penghasilan rata-rata perbulan petani kelapa
sawit di Kabupaten paser, lantas bagaimana caranya kita mengumpulkan data
sampai pada kesimpulan tersebut. Hal yang paling logis adalah melakukan
wawancara terhadap seluruh petani kelapa sawit yang ada di Kabupaten Paser.
Pengumpulan data seperti ini tak dapat diragukan lagi akan memberikan
kesimpulan mengenai penghasilan rata-rata perbulan petani kelapa sawit tersebut
di Kabupaten Paser, tetapi kegiatan ini tentu saja akan menghadapkan kita
kepada kendala tenaga, biaya, dan waktu.
·
Untuk berpikir induktif dalam bidang ilmiah yang
bertitik tolak dari sejumlah hal khusus untuk sampai pada suatu rumusan umum
sebagai hukum ilmiah, menurut Herbert L. Searles (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 1996
: 91-92), diperlukan proses penalaran sebagai berikut :
·
1. Langkah pertama adalah mengumpulkan
fakta-fakta khusus.
·
Pada langkah ini, metode yang digunakan adalah
observasi dan eksperimen. Observasi harus dikerjakan seteliti mungkin,
sedangkan eksperimen dilakukan untuk membuat atau mengganti obyek yang harus
dipelajari.
·
2. Langkah kedua adalah perumusan hipotesis.
·
Hipotesis merupakan dalil atau jawaban sementara
yang diajukan berdasarkan pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi
penelitian lebih lanjut. Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat, diantaranya
dapat diuji kebenarannya, terbuka dan sistematis sesuai dengan dalil-dalil yang
dianggap benar serta dapat menjelaskan fakta yang dijadikan fokus kajian.
·
3. Langkah ketiga adalah mengadakan verifikasi.
·
Hipotesis merupakan perumusan dalil atau jawaban
sementara yang harus dibuktikan atau diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga
diperbandingkan dengan fakta-fakta lain untuk diambil kesimpulan umum. Proses
verifikasi adalah satu langkah atau cara untuk membuktikan bahwa hipotesis
tersebut merupakan dalil yang sebenarnya. Verifikasi juga mencakup generalisasi
untuk menemukan dalil umum, sehingga hipotesis tersebut dapat dijadikan satu teori.
·
4. Langkah keempat adalah perumusan teori dan
hukum ilmiah berdasarkan hasil verifikasi.
·
Hasil akhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah
adalah terbentuknya hukum ilmiah. Persoalan yang dihadapi adalah oleh induksi
ialah untuk sampai pada suatu dasar yang logis bagi generalisasi dengan tidak
mungkin semua hal diamati, atau dengan kata lain untuk menentukan pembenaran
yang logis bagi penyimpulan berdasarkan beberapa hal untuk diterapkan bagi
semua hal. Maka, untuk diterapkan bagi semua hal harus merupakan suatu hukum
ilmiah yang derajatnya dengan hipotesis adalah lebih tinggi.
·
Contoh lain dari argument metode beepikir
induktif adalah:
·
1. Kuda Sumba punya sebuah jantung
·
2. Kuda Australia punya sebuah jantung
·
3. Kuda Amerika punya sebuah jantung
·
4. Kuda Inggris punya sebuah jantung
·
5. …
·
6. ∴ Setiap kuda punya sebuah jantung
·
Dari berbagai peryataan kemudian di tarik
kesimpulan secara umun itulah merupakan metode berpikir secara induktif (
khusus ke umum) jadi dalam berpikir induktif dari cakupan yang kevil kemudian
di jabarkanmenjadi kesimpulan secara umum.
·
Bentuk-bentuk Penalaran Induktif
·
a. Generalisasi : Proses penalaran yang
mengandalkan beberapa pernyataan yang mempunyai sifat tertentu untuk
mendapatkan simpulan yang bersifat umum.
·
Contoh generalisasi :
·
1)Jika dipanaskan, besi memuai.
·
Jika
dipanaskan, tembaga memuai.
·
Jika
dipanaskan, emas memuai.
·
Jika
dipanaskan, platina memuai
·
Jadi,
jika dipanaskan, logam memuai.
·
2)Jika ada udara, manusia akan hidup.
·
Jika
ada udara, hewan akan hidup.
·
Jika
ada udara, tumbuhan akan hidup.
·
Jadi,
jika ada udara mahkluk hidup akan hidup.
·
b. Hipotesis dan Teori
·
Hipotesis à proposisi yg masih
perlu diuji
·
Teori à proposisi yg telah
teruji.
·
Contoh :
·
Ø
Semua kucing yang bermata biru adalah tuli (Darwin dalam ilmu biologi)
·
Ø
Tidak ada hewan yang bertanduk dan berkuku telapak adalah pemakan
daging
·
Ø
Anak kecil yang pernah terluka jari-jarinya karena bermain-main
dengan pisau akan berhati-hati bila di saat lain dia menggunakan pisau
·
Ø
Ilmu ilmu kealaman semuanya disusun berdasarkan generalisasi tidak
sempurna, demikian pula ilmu sosial
·
c. Analogi : Cara penarikan penalaran dengan
membandingkan dua hal yang mempunyai sifat yang sama.
·
Contoh analogi
·
Nina
adalah lulusan Akademi Amanah.
·
Nina
dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
·
Ali
adalah lulusan Akademi Amanah.
·
Oleh
Sebab itu, Ali dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
·
d. Hubungan kausal : penalaran yang diperoleh
dari gejala-gejala yang saling berhubungan.
·
Macam hubungan kausal :
·
1. Sebab- akibat.
·
Yaitu dimulai dengan mengemukakan fakta yang
menjadi sebab dan sampai kepada kesimpulan yang menjadi akibat. Pada pola sebab
ke akibat sebagai gagasan pokok adalah akibat, sedangkan sebab merupakan
gagasan penjelas.
·
“Hujan turun di daerah itu mengakibatkan
timbulnya banjir.”
·
2. Akibat – Sebab.
·
Yaitu dimulai dengan fakta yang menjadi akibat,
kemudian dari fakta itu dianalisis untuk mencari sebabnya.
·
“Andika
tidak lulus dalam ujian kali ini disebabkan dia tidak belajar dengan baik”
·
3. Akibat – Akibat.
·
Yaitu dimulai dari suatu sebab yang dapat
menimbulkan serangkaian akibat. Akibat pertama berubah menjadi sebab yang
menimbulkan akibat kedua. Demikianlah seterusnya hingga timbul rangkaian
beberapa akibat.
·
“Ibu mendapatkan jalanan di depan rumah becek,
sehingga ibu beranggapan jemuran di rumah basah”
·
e. Induksi dalam Metode Ekspoisisi
·
Eksposisi adalah salah satu jenis pengembangan
paragraf dalam penulisan yang dimana isinya ditulis dengan tujuan untuk
menjelaskan atau memberikan pengertian dengan gaya penulisan yang singkat,
akurat, dan padat. Karangan ini berisi uraian atau penjelasan tentang suatu
topik dengan tujuan memberi informasi atau pengetahuan tambahan bagi pembaca.
Untuk memperjelas uraian, dapat dilengkapi dengan grafik, gambar atau
statistik. Sebagai catatan, tidak jarang eksposisi ditemukan hanya berisi
uraian tentang langkah/cara/proses kerja. Eksposisi demikian lazim disebut
paparan proses.
·
Langkah
menyusun eksposisi:
·
• Menentukan topik/tema
·
• Menetapkan tujuan
·
• Mengumpulkan data dari berbagai sumber
·
• Menyusun kerangka karangan sesuai dengan topik
yang dipilih
·
• Mengembangkan kerangka menjadi karangan
eksposisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar